Walaupun diakui hafalan merupakan salah satu tradisi yang dijunjung tinggi dalam pemeliharaan dan pengembangan pengetahuan, dan konon orang-orang Arab terkenal mempunyai kekuatan hafalan yang tinggi, bahkan para penghafal masih banyak yang beranggapan bahwa penulisan Hadis tidak diperkenankan, namun ternyata tradisi penulisan Hadis sudah dilakukan sejak zaman Nabi.
Tradisi tulis Hadis memang sudah ada sejak masa Nabi, tapi bukan berarti semua Hadis Nabi sudah dibukukan sejak zaman Nabi tersebut.
Hal ini bisa kita lihat dari tidak dibukukannya Hadis secara resmi saat itu, sedang sahabat yang menulis Hadis itu lebih didorong oleh keinginan dirinya sendiri.
Padahal koordinasi antara sahabat untuk merekam seluruh aspek kehidupan Nabi tidak ditemukan tanda-tandanya.
Sebagaimana tampakan dalam sejarah, bahwa tanpa koordinasi dengan yang lain dan hanya mengandalkan dirinya secara pribadi tidak mungkin seseorang dapat merekam aspek kehidupan Nabi secara keseluruhan.
Dari sinilah seseorang tidak boleh fanatik pada satu jalur periwayatan Hadis saja, tetapi ia juga harus bersikap terbuka terhadap jalur lain sepanjang memang valid periwayatnnya.
Berbagai ilmu bantu, seperti sejarah, semantik, hermenetik yang ada juga diperlukan menilai keshahehan Hadis baik dari segi sanad ataupun matannya.
Segera harus penulis kemukakan bahwa jika ditelaah secara kritis-historis, sebenarnya tidak ditulisnya Hadis secara resmi pada zaman Nabi dan sahabat itu lebih disebabkan antara lain:
Pertama : karena Nabi sendiri memang pernah melarangnya, meskipun di antara sahabat atas izin Nabi juga telah mencatat sebagian Hadis yang disampaikan beliau.
Kedua : karena sebagian besar para sahabat cenderung lebih konsern memperhatikan al-Qur’an untuk dihapal dan ditulisnya pada papan, pelepah kurma, kulit binatang dan lain sebagainya. Sedangkan terhadap Hadis Nabi sendiri, di samping menghapalnya, mereka cenderung langsung melihat praktik yang dilakukan Nabi, lalu mereka mengikutinya.
Ketiga : karena ada kekhawatiran terjadinya iltibas (campur aduk) antara ayat al-Qur’an dengan Hadis.
Meskipun demikian, nampaknya alasan yang terakhir ini dapat kita pertanyakan ulang.
Apakah logis para sahabat tidak dapat membedakan antara redaksi ayat al-Qur’an dengan Hadis? karena dalam saat yang bersamaan mereka mempunyai dzauq al-lughah (cita rasa bahasa) yang sangat tajam. Redaksi ayat al-Qur’an jelas berbeda dengan redaksi Hadis, baik dilihat dari segi ketelitian redaksinya, keindahan susunan bahasanya maupun isinya. Dengan demikian alasan khawatir terjadinya iltibas adalah lemah.