Kontroversi Tentang Larangan Penulisan Hadits


Larangan Penulisan HaditsDi antara Hadis yang melarang penulisan Hadis adalah Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri yang artinya sebagai berikut: Abu Said al-Khudri meriwayatkan bahwa Rasul Saw, bersabda: “Jangan kamu menulis dariku kecuali al-Qur’an. Barang siapa yang menulisnya hendaknya ia menghapuskannya.
Demikian salah satu Hadis yang menyatakan pelarangan penulisan Hadis. Apabila ditinjau dari Hadis ini, maka dapat diprediksikan bagaimana implikasinya terhadap penulisan dan pembukuan Hadis. Ulama kontemporer seperti Muhammad Syahrur, misalnya memaknai larangan Hadis tersebut sebagai suatu isyarat bahwa Hadis itu sebenarnya hanyalah merupakan ijtihad Nabi yang syarat dengan situasi sosio-kultural dimana Nabi hidup. Hadis Nabi lebih merupakan marhalah ta’rikhiyah, dimana Nabi sangat dipengaruhi oleh situasi sosio-budaya Arab waktu itu, sehingga tidak terlalu penting untuk dibukukan.

Namun demikian, disamping ada Hadis yang melarang menulisan Hadis sebagaimana dikutip di atas, dalam bagian yang lain ada juga Hadis-Hadis yang menunjukkan kebolehan menulis Hadis. Diantaranya adalah Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang artinya sebagai berikut:

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa ketika Fath Makkah Rasulullah Saw. bangkit untuk berkhutbah di tengah orang banyak, maka berdirilah seorang penduduk Yaman, bernama Abu Syah. Katanya: “Ya Rasulullah, tuliskanlah untukku. “Kata Nabi, “Tuliskanlah untuknya”.

Terhadap dua riwayat yang tampak saling bertentangan tersebut, para ulama berbeda pendapat dalam memahaminya. Sebagian menganggap bahwa larangan itu mutlak, tetapi sebagian ulama yang lain berusaha mengkompromikannya dengan mengembalikan persoalan tersebut kepada empat pendapat:

1. Sebagian ulama menganggap bahwa Hadis Abi Said Al-Hudri tersebut Mauquf, maka tidak patut untuk dijadikan alasan, untuk melarang penulisan Hadis.

2. Larangan penulisan Hadis berlaku hanya pada masa awal-awal Islam, karena dikhawatirkan bercampur dengan al-Qur’an. Sehingga ketika umat Islam telah menjadi banyak jumlahnya dan pengetahuan tentang al-Qur’an telah tinggi dan mampu membedakan dengan Hadis, maka hilanglah kekhawatiran ini dan dihapuslah hukum pelarangan ini dengan Hadis-Hadis yang membolehkan pencatatan Hadis. Hal ini dibuktikan oleh Hadis Abu Syah tersebut yang diriwayatkan diakhir kehidupan Nabi. Ini berarti Hadis yang melarang menulis Hadis telah dihapus dengan Hadis yang membolehkan untuk menulis Hadis.

Ada juga ulama yang mengikuti pendapat bahwa pelarangan menulis Hadis itu apabila Hadis ditulis dalam sahifah yang sama dengan al-Qur’an. Karena biasanya ketika mereka (para sahabat) mendengar ta’wil ayat, mereka lalu menulis dalam sahifah yang sama dengan al-Qur’an. Hal ini tentu dapat menyebabkan adanya iltibas (campur aduk) antara ayat-ayat al-Qur’an dengan Hadis, terutama bagi mereka yang tidak mempunyai cita rasa bahasa yang tajam.

Dengan adanya larangan penulisan Hadis tersebut pada hakekatnya Nabi mempercayai kemampuan para sahabat untuk menghafalkannya, dan Nabi khawatir seseorang akan bergantung pada tulisan, sedang pemberian izin Nabi untuk menulis Hadisnya, pada hakekatnya merupakan isyarat bahwa Nabi tidak percaya kepada orang seperti Abi Syah, dapat menghafalkannya dengan baik. 

Larangan itu bersifat umum, tetapi secara khusus diizinkan kepada orang-orang yang bisa baca tulis dengan baik, tidak salah dalam tulisannya, seperti pada Abdullah bin Umar.

Meskipun para ulama mempunyai perbedaan pendapat tentang boleh tidaknya penulisan Hadis ini, namun nyatanya para sahabat tetap memelihara dan melestarikan Hadis Nabi. Hal ini dibuktikan dengan adanya Hadis Nabi yang mengatakan: “Riwayatkanlah dari saya. Barang siapa sengaja berbohong atas nama saya maka tempatnya di neraka”. Sehingga apabila menulis Hadis menjadi praktek yang dilarang, maka untuk mengantisipasi terjadinya ketidakotentikan Hadis ini Nabi juga memberikan peringatan atau ancaman neraka tersebut.