Hampir semua orang Islam sepakat akan pentingnya peranan Hadis dalam berbagai disiplin keilmuan Islam seperti tafsir, fiqh, teologi, akhlaq dan lain sebagainya. Sebab secara struktural Hadis merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an, dan secara fungsional Hadis dapat berfungsi sebagai penjelas terhadap ayat-ayat yang global. Hal itu dikuatkan dengan pernyataan yang gamblang dalam al-Qur’an yang menunjukkan pentingnya merujuk kepada Hadis Nabi, misalnya Q.S. Al-Ahzab (33): 21 dan Q.S Al-Hasyr (59)
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Artinya: … Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah…
Akan tetapi, secara historis, perjalanan Hadis tidak sama dengan perjalanan al-Qur’an. Jika al-Qur’an sejak awal sudah diadakan pencatatan secara resmi oleh para pencatat wahyu atas petunjuk dari Nabi, maka tidak demikian halnya dengan Hadis Nabi. Jika, al-Qur’an secara normatif telah ada garansi dari Allah, dan tidak ada keraguan akan otentisitasnya, maka tidak demikian halnya dengan Hadis Nabi, yang mendapatkan perlakuan berbeda dari al-Qur’an. Bahkan dalam kitab-kitab Hadis, terdapat adanya pelarangan penulisan Hadis. Hal itu tentunya mempunyai implikasi-implikasi tersendiri bagi transformasi Hadis, terutama pada zaman Nabi.
Pengkodifikasian al-Qur’an berbeda dengan pengkodifikasian Hadis yang banyak diriwayatkan secara ahad, secara individual.[1] Hadis ternyata lebih banyak dipelihara dalam ingatan daripada dalam catatan yang dimiliki oleh para sahabat, yang pada masanya diijinkan Nabi untuk mencatat Hadis. Hadis yang ada dalam catatan dan ingatan mereka tersebar secara luas ke berbagai daerah Islam yang dikunjungi oleh para sahabat, baik untuk keperluan jihad, dakwah maupun perdagangan.
Untuk menghimpun Hadis-Hadis itu diperlukan ketelitian yang sangat tinggi yakni berupa kerangka ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang akurat, agar yang dinamakan Hadis itu bebar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.[2] Interval waktu yang cukup lama antara Nabi Saw. dengan para penghimpun Hadis, dan perbedan visi politik serta madzab pada abad-abad berikutnya, merupakan dimensi lain yang menambah rumitnya pembuktian status Hadis oleh ulama dari generasi ke generasi.
Fokus Kajian makalah ini adalah memotret sejarah perkembangan Hadis dari masa awal (Rasulullah) hingga para sahabat. Kajian ini penting dan mendasar sebelum mengkaji secara lebih jauh tentang Hadis. Hasbi ash-Shidieqy dalam buku Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, menyatakan perlunya mempelajari sejarah Hadis, yang katanya, dengan memeriksa periode-periode yang telah dilalui oleh Hadis (sejarah perkembangannya), maka dapat mengetahui proses pertumbuhan dan perkembangan Hadis dari masa ke masa yang begitu dinamis dan kompleks. Mempelajari sejarah perkembangan Hadis, baik perkembangan riwayat-riwayatnya maupun pembukuannya, sangat diperlukan karena dipandang menjadi satu kesatuan dengan studi Hadis.[3]
Lebih lanjut Hasbi menyatakan bahwa jika dipelajari dengan seksama situasi dan keadaan historis (historical situation) perjalanan dan perkembangan Hadis sejak dari permualaan pertumbuhan hingga sekarang, dapat disimpulkan bahwa Hadis telah melalui enam masa/periode, dan saat ini telah memasuki periode yang enam.[4]
Periode pertama, yaitu saat wahyu dan pembentukan hukum dan dasar-dasarnya dari permulaan kenabian hingga beliau wafat pada tahun 11 Hijriyah. Periode kedua, masa khulâfa ar-râsyidin yang dikenal dengan masa pembatasan riwayat. Periode ketiga, masa perkembangan riwayat, yaitu masa sahabat kecil dan tabi’in besar. Periode keempat, masa pembukuan Hadis (permulaan abad kedua Hijriyah). Periode kelima, masa pentashhikan dan penyaringan (awal abad ketiga). Periode keenam, masa memilah kitab-kitab Hadis dan menyusun kitab-kitab jami’ yang khusus (awal abad keenam sampai tahun 656 h.) Periode ketuju, masa membuat syarah, kitab-kitab takhrij, pengumpulan Hadis-Hadis hukum dan membuat kitab-kitab jami’ yang umum.
Untuk Reperensinya anda bisa klik yang warna birunya.
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Artinya: … Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah…
Akan tetapi, secara historis, perjalanan Hadis tidak sama dengan perjalanan al-Qur’an. Jika al-Qur’an sejak awal sudah diadakan pencatatan secara resmi oleh para pencatat wahyu atas petunjuk dari Nabi, maka tidak demikian halnya dengan Hadis Nabi. Jika, al-Qur’an secara normatif telah ada garansi dari Allah, dan tidak ada keraguan akan otentisitasnya, maka tidak demikian halnya dengan Hadis Nabi, yang mendapatkan perlakuan berbeda dari al-Qur’an. Bahkan dalam kitab-kitab Hadis, terdapat adanya pelarangan penulisan Hadis. Hal itu tentunya mempunyai implikasi-implikasi tersendiri bagi transformasi Hadis, terutama pada zaman Nabi.
Pengkodifikasian al-Qur’an berbeda dengan pengkodifikasian Hadis yang banyak diriwayatkan secara ahad, secara individual.[1] Hadis ternyata lebih banyak dipelihara dalam ingatan daripada dalam catatan yang dimiliki oleh para sahabat, yang pada masanya diijinkan Nabi untuk mencatat Hadis. Hadis yang ada dalam catatan dan ingatan mereka tersebar secara luas ke berbagai daerah Islam yang dikunjungi oleh para sahabat, baik untuk keperluan jihad, dakwah maupun perdagangan.
Untuk menghimpun Hadis-Hadis itu diperlukan ketelitian yang sangat tinggi yakni berupa kerangka ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang akurat, agar yang dinamakan Hadis itu bebar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.[2] Interval waktu yang cukup lama antara Nabi Saw. dengan para penghimpun Hadis, dan perbedan visi politik serta madzab pada abad-abad berikutnya, merupakan dimensi lain yang menambah rumitnya pembuktian status Hadis oleh ulama dari generasi ke generasi.
Fokus Kajian makalah ini adalah memotret sejarah perkembangan Hadis dari masa awal (Rasulullah) hingga para sahabat. Kajian ini penting dan mendasar sebelum mengkaji secara lebih jauh tentang Hadis. Hasbi ash-Shidieqy dalam buku Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, menyatakan perlunya mempelajari sejarah Hadis, yang katanya, dengan memeriksa periode-periode yang telah dilalui oleh Hadis (sejarah perkembangannya), maka dapat mengetahui proses pertumbuhan dan perkembangan Hadis dari masa ke masa yang begitu dinamis dan kompleks. Mempelajari sejarah perkembangan Hadis, baik perkembangan riwayat-riwayatnya maupun pembukuannya, sangat diperlukan karena dipandang menjadi satu kesatuan dengan studi Hadis.[3]
Lebih lanjut Hasbi menyatakan bahwa jika dipelajari dengan seksama situasi dan keadaan historis (historical situation) perjalanan dan perkembangan Hadis sejak dari permualaan pertumbuhan hingga sekarang, dapat disimpulkan bahwa Hadis telah melalui enam masa/periode, dan saat ini telah memasuki periode yang enam.[4]
Periode pertama, yaitu saat wahyu dan pembentukan hukum dan dasar-dasarnya dari permulaan kenabian hingga beliau wafat pada tahun 11 Hijriyah. Periode kedua, masa khulâfa ar-râsyidin yang dikenal dengan masa pembatasan riwayat. Periode ketiga, masa perkembangan riwayat, yaitu masa sahabat kecil dan tabi’in besar. Periode keempat, masa pembukuan Hadis (permulaan abad kedua Hijriyah). Periode kelima, masa pentashhikan dan penyaringan (awal abad ketiga). Periode keenam, masa memilah kitab-kitab Hadis dan menyusun kitab-kitab jami’ yang khusus (awal abad keenam sampai tahun 656 h.) Periode ketuju, masa membuat syarah, kitab-kitab takhrij, pengumpulan Hadis-Hadis hukum dan membuat kitab-kitab jami’ yang umum.
Untuk Reperensinya anda bisa klik yang warna birunya.