Proses Penghimpunan Hadits

Penghimpunan Hadits
Andaikata Umar bin Khattab tidak mengurungkan niat untuk menghimpun Hadis Nabi dalam satu kitab, maka akan dapat dikendalikan lebih dini upaya-upaya pemalsuan Hadis. Akan tetapi Umar, sebagaimana telah disinggung di atas, mengurungkan niat itu, karena dia khawatir umat Islam akan mengabaikan al-Qur’an.

Sesudah era Umar bin al-Khattab, tidak ada khalifah yang merencanakan menghimpun Hadis, kecuali khalifah ‘Umar bin Abd al-Ziz (w. 101 H/720 M). Walaupun demikian pada era antara Umar bin al-Khaththab dan Umar bin Abd al-Aziz tidak ada kegiatan sama sekali untuk men-tadwin Hadis. Informasi historis menyebutkan, tidak sedikit, baik di kalangan sahabat Nabi maupun tabiin yang telah melakukan pencatatan Hadis. Akan tetapi pencatatan Hadis itu masih bersifat per-individu, dalam arti belum menjadi kegiatan kolektif yang mendapat mandat dari pemerintah.

Khalifah Umar bin Abd Aziz yang terkenal berpribadi shalih dan cinta kepada ilmu pengetahuan,[34] sangat berkeinginan untuk segera menghimpun Hadis. Keinginan itu sudah muncul sebenarnya ketika dia masih menjabat sebagai Gubernur di Madinah (86-93 H), pada masa pemerintahan al-Walid bin Abd al-Malik (86-96 H). Keinginan Khalifah Umar bin Abd Aziz untuk menghimpun Hadis diwujudkan dalam bentuk surat perintah. Surat itu dikirim ke seluruh pejabat dan ulama di berbagai daerah pada akhir tahun 100 H. Isi surat perintah itu adalah agar seluruh Hadis Nabi di masing-masing daerah agar segera dikumpulkan.[35]

Salah satu surat khalifah dikirim kepada Gubernur Madinah, Abu Bakr bin Muhammad ‘Amr bin Hazm (w. 117 H/735 M). Isi surat itu ialah; 1) Khalifah merasa khawatir akan punahnya pengetahuan Hadis dan meninggalnya para ahli Hadis, dan 2) khalifah memerintahkan agar Hadis yang ada di tangan ‘Amrah binti Abd al-Rahman dan al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Shiddiq, keduanya murid ‘Aisyah dan berada di Madinah, segera dikumpulkan (di-tadwin). Namun sayang, sebelum Ibn Hazm berhasil menyelesaikan tugasnya, khalifah telah meninggal dunia.[36] Menurut al-shiba’i, Ibn Hazm mengumpulkan lalu menulis Hadis hanya yang berasal dari Amrah dan al-Qashim.

Ulama yang berhasil menghimpun Hadis dalam satu kitab sebelum khalifah meninggal ialah Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri (w. 124 H/742 M). Dia seorang ulama besar di negeri Hijaz dan Syam. Bagian-bagian kitab al-Zuhri segera dikirim oleh khalifah ke berbagai daerah untuk bahan penghimpunan Hadis selanjutnya.[37] Walaupun khalifah Umar bin ‘Abd al-Aziz telah meninggal dunia, namun kegiatan penghimpunan Hadis terus berlangsung. Sekitar pertengahan abad kedua hijriyah, telah muncul berbagai kitab himpunan Hadis di berbagai kota. Ulama berbeda pendapat tentang karya siapa yang terdahulu muncul. Ada yang mengatakan bahwa yang paling awal muncul adalah karya ‘Abd al-Malik bin ‘Abd al-‘Aziz bin Juraij al-Bishri (w. 150 H), ada yang menyatakan karya Malik bin Anas (w. 179 H),[38] dan ada yang menyatakan karya ulama lainnya. Karya-karya tersebut tidak hanya menghimpun Hadis Nabi saja, tetapi juga menghimpun fatwa-fatwa sahabat dan al-Tabi’in.

Karya-karya ulama berikutnya disusun berdasarkan nama sahabat Nabi periwayat Hadis. Karya yang berbentuk demikian ini biasa dinamakan al-musnad, jamaknya al-masanid.Ulama yang mula-mula menyusun kitan al-musnad ialah Abu Daud (w. 204 H). Kemudian menyusul ulama lainnya, misanya Abu Bakr ‘Abdullah bin al-Zubair al-Humaidi (w. 219 H) dan Ahmad bin Hanbal (w. 241 H).[39]

Berbagai Hadis yang terhimpun dalam kitab-kitab Hadis di atas, ada yang berkualitas shahih dan ada yang berkualitas tidak shahih. Ulama berikutnya kemudian menyusun kitab Hadis yang khusus menghimpun Hadis-Hadis Nabi yang berkualitas shahih menurut kriteria penyusunnya. Misalnya, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari (w. 261 H/870 M), dan Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi (w. 261 H/875 M). Kitab himpunan Hadis shahih karya al-Bukhari adalah “al-Jami’ al-Musnad al-Shahih al-Mukhtasyar min Umur Rasul Allah Saw wa Sunnatihi wa Ayyumihi” dan dikenal dengan al-Jami’ al-Shahih atau Shahih Bukhari. Kitab himpunan Hadis shahih karya Muslim berjudul “al-Musnad al-Shahih al-Mukhtasyar min al-Sunan bi al-Naql al-‘Adl ‘an ‘Adl Rasul Allah Saw” dan dikenal dengan sebutan jami’ al-Shahih atau Shahih Muslim.

Di samping itu muncul pula kitab-kitab Hadis yang bab-babnya tersusun seperti bab-bab fiqih dan kualitas Hadisnya ada yang shahih dan ada yang dha’if. Karya itu dikenal dengan nama al-sunan. Di antara ulama Hadis yang telah menyusun kitab al-Sunan ialah ; Abu Daud (w. 275 H), al-Tirmidzi (w. 279 H), al-Nasa’i (w. 303 H), dan Ibn Majah (w. 273 H).[40] 
Karya-karya al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i tersebut disepakati oleh mayoritas ulama sebagai kitab-kitab Hadis standar dan dikenal sebagai al-kutub al-khamsah (lima kitab Hadis standar). Ulama berbeda pendapat tentang kitab standar peringkat keenam. Sebagian ulama menyatakan, yang keenam itu adalah al-sunan karya Ibn Majah, sebagian ulama berpendapat kitab al-Muwaththa’ karya Malik bin Anas dan sebagian ulama lagi berpendapat kitab al-Sunan karya Abu ‘Abdullah bin ‘Abdul Rahman al-Damiri (w. 225 H).[41]

Untuk Reperensinya anda bisa klik yang warna birunya.