Hadis pada Zaman Rasulullah Saw

Hadis
Bahwa Hadis telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat diragukan lagi. Sesunggunhya semasa hidup Rasulullah adalah wajar sekali jika para sahabat memperhatikan apa saja yang dilakukan maupun yang diucapkan oleh beliau, terutama sekali yang berkaitan dengan fatwa-fatwa keagamaan. Orang-orang Arab yang suka menghafal dan syair-syair dari para penyair mereka, ramalan-ramalan dari peramal mereka dan pernyataan-pernyataan dari para hakim, tidak mungkin lengah untuk mengisahkan kembali perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan dari seorang yang mereka akui sebagai seorang Rasul Allah.[5]

Di samping sebagai utusan Allah, Nabi adalah panutan dan tokoh masyarakat. Selanjutnya dalam kapasitasnya sebagai apa saja (Rasul, pemimpin masyarakat, panglima perang, kepala rumah tanggal, teman) maka, tingkah laku, ucapan dan petunjuknya disebut sebagai ajaran Islam. Beliau sendiri sadar sepenuhnya bahwa agama yang dibawanya harus disampaikan dan terwujud secara kongkret dalam kehidupan nyata sehari-hari. Karena itu, setiap kali ada kesempatan Nabi memanfaatkannya berdialog dengan para sahabat dengan berbagai media, dan para sahabat juga memanfaatkan hal itu untuk lebih mendalami ajaran Islam.[6]

Para sahabat tidak sekedar mengisahkan kembali pengamatan mereka terhadap Rasul, tetapi apa yang didapat dari Rasul benar-benar menjadi petunjuk dan pedoman dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sebagian sahabat sengaja mendatangi Rasul dari tempat tinggal mereka yang jauh hanya sekadar menanyakan sesuatu hukum syar’i.[7] Dikisahkan pula para Kabilah yang tinggal jauh dari kota Madinah secara rutin mengutus salah seorang anggotanya pergi mendatangi Nabi untuk mempelajari hukum-hukum agama. Dan sepulang mereka kembali ke kampungnya, mereka segera mengajari kawan-kawannya.

Hadis Nabi yang sudah diterima oleh para sahabat, ada yang dihafal dan ada pula yang dicatat. Sahabat yang banyak mengahafal Hadis dapat disebut misalnya Abu Hurairah[8] sedangkan sahabat Nabi yang membuat catatan Hadis diantaranya; Abu Bakar Shidiq, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Amr bin Ash, dan Abdullah bin Abbas.[9]

Minat yang besar dari para sahabat Nabi untuk menerima dan menyampaikan Hadis disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya:

1. Dinyatakan secara tegas oleh Allah dalam al-Qur’an, bahwa Nabi Muhammad adalah panutan utama (uswah hasanah) yang harus diikuti oleh orang-orang beriman dan sebagai utusan Allah yang harus ditaati oleh mereka.

2. Allah dan Rasul-Nya memberikan penghargaan yang tinggi kepada mereka yang berpengetahuan.[10] Ajaran ini telah mendorong para sahabat untuk berusaha memperoleh pengetahuan yang banyak, yang pada zaman Nabi, sumber pengetahuan adalah Nabi sendiri.

3. Nabi memerintahkan para sahabatnya untuk menyampaikan pengajaran kepada mereka yang tidak hadir. Nabi menyatakan bahwa boleh jadi orang yang tidak hadir akan lebih paham daripada mereka yang hadir mendengarkan langsung dari Nabi.[11] Perintah ini telah mendorong para sahabat untuk menyebarkan apa yang mereka peroleh dari Nabi.

Setelah melihat perkembangan penyebaran Hadis pada masa itu, Nabi tampaknya cukup khawatir para sahabat terjerumus dalam penyampaian berita yang tidak benar, karena pada umumnya manusia cenderung untuk membumbui berita yang ingin disampaikannya. Di samping itu masyarakat pada umumnya tertarik kepada berita yang sensasional dan didramatisir sedemikian rupa.[12]

Di samping itu Nabi juga khawatir jika fokus utama kajian sahabat bergeser dari al-Qur’an ke Hadis, bahkan tidak mungkin ada percampuran baik secara langsung maupun tidak langsung ayat-ayat al-Qur’an oleh teks maupun makna Hadis. Kekhawatiran dinyatakan langsung oleh Nabi dengan sabdanya:

Artinya: ”Janganlah kalian tulis apa yang kalian dengan dariku, selain al-Qur’an. Barangsiapa yang telah menulis sesuatu yang selain al-Qur’an hendaklah dihapus” (HR. Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri).

Hadis tersebut di atas, di samping menganjurkan agar meriwayatkan Hadis dengan lisan, juga memberi ultimatum kepada seseorang yang membuat riwayat palsu. Larangan penulisan Hadis tersebut ialah untuk menghindarkan adanya kemungkinan sebahagian sahabat penulis wahyu memasukkan Hadis ke dalam lembaran-lembaran tulisan Al-Qur’an, kerana dianggapnya segala yang dikatakan Rasulullah Saw. adalah wahyu semuanya. Lebih-lebih bagi generasi yang tidak menyaksikan zaman tanzil (turunnya wahyu), tidak mustahil adanya dugaan bahawa seluruh yang tertulis adalah wahyu semuanya, hingga bercampur aduk antara Al-Qur’an dengan Hadis.

Lebih jauh Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan makna filosofis atau faktor-faktor yang melatarbelakangi larangan penulisan teks kenabian selain al-Qur’an yang menurut dia adalah:

1. Mentadwinkan ucapan-ucapan Nabi, amalan-amalannya, muamalah-muamalahnya adalah sesuatu yang sulit, karena memerlukan beberapa sahabat yang terus-menerus harus menyertai Nabi untuk menulis segala yang terkait dengan tersebut di atas, padahal orang yang dapat menulis pada saat itu tidak banyak (baca: masyarakat ummiyyun).

2. Sebagaimana telah disinggung di atas, orang Arab saat itu jarang yang pandai menulis, tapi di sisi lain mereka sangat kuat berpegang pada hafalan dalam segala hal yang mereka ingin menghafalnya. Tetapi ada catatan Hasbi di sisi, mereka-orang Arab itu- mudah untuk mengafal al-Qur’an yang turun secara berangsur-angsur, dibanding menghafal Hadis.

3. Karena dikhawatirkan akar terjadi percampuran antara teks al-Qur’an dan Hadis jika terjadi penulisan Hadis.[13]

Tetapi Muh. Zuhri[14] mengutip hasil penelitian yang telah dilakukan al-A’zami, menyatakan bahwa semua Hadis yang menyebut larangan penulisan Hadis itu dha’if kecuali Hadis riwayat Abu Sa’id al-Khudri jalur dari Hammam, dari Zaid bin Aslam, dari Atha’ bin Yasir, dari Abu Said al-Khudri. Redaksi yang sama dari jalur yang lain dinyatakan dha’if. Sebuah Hadis yang sahih ini pun diragukan, apakan marfu’ atau hanya ucapan Abu Said sendiri. Al-A’zami setelah mengadakan penelitian seksama, berkesimpulan, andai Hadis ini marfu’, maka dalam konteks larangan penulisan Hadis bersama al-Qur’an dalam satu buku.

Al-A’zami membantah pendapat bahwa para sahabat dilarang menulis karena kebanyakan mereka tidak dapat menulis. Banyaknya sekretaris al-Qur’an menggambarkan banyaknya sahabat yang pandai menulis. Andaikata kebanyakan mereka tidak pandai menulis, tidak perlu Nabi menyebut pelarangan menulis Hadis, karena dengan sendirinya mereka tidak menulis.[15]

Apakah benar Hadis sudah ditulis sejak masa Rasulullah Saw.? Fazlur Rahman berpendapat Hadis belum ada pada periode Rasulullah. Yang ada kala itu adalah sunnah yaitu praktek keagamaan yang dilakukan secara tradisi karena keteladanan Nabi, yang setelah Rasulullah wafat, berkembanglah penafsiran individu terhadap teladan Rasul itu. Boleh jadi sebagian sahabat memandang perilaku tertentu sebagai sunnah, tetapi sahabat yang lain, tidak menganggapnya sunnah. Kemudian sunnah yang sudah disepakati kebanyakan orang ini, diekspresikan dalam Hadis. Hadis adalah verbalisasi sunnah. Sayangnya, menurut Fazlur Rahman, formalisasi sunnah ke dalam Hadis ini telah memasung proses kreatif sunnah dan menjerat para ulama Islam pada rumus-rumus yang kaku.[16]

Namun, berlawanan dengan tesis Fazlur Rahman, Jalaluddin Rakhmat[17] berpendapat bahwa yang pertama kali beredar di kalangan kaum Muslim kala itu adalah Hadis. Banyak riwayat menunjukkan perhatian para sahabat untuk menghafal ucapan-ucapan Nabi atau menyampaikan apa yang dilakukan Nabi Saw. Ada diantara mereka yang menuliskannya. Misalnya Ali ra., seperti diriwayatkan Bukhari, mempunyai mushhaf di luar al-Qur’an, yang menghimpun keputusan-keputusan hukum yang pernah dibuat Nabi. Abdullah bin Amr bin Ash juga dilaporkan rajin mencatat apa yang didengarnya dari Nabi. ‘Aisyah juga menyimpan catatan-catatan Hadis (mungkin ditulis Abu Bakar). Umar sendiri pernah mengumpulkan catatan-catatan Hadis yang berserakan dan membakarnya.