Setelah Nabi wafat
(11 H/632 M), kendali kepemimpinan umat Islam berada di tangan sahabat
Nabi. Sahabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu
Bakar ash-Shiddiq (wafat 13 H/634 M), kemudian disusul oleh Umar bin
Khaththab (wafat 23 H/644 M), Usman bin Affan (wafat 35 H/656 M), dan
Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/611 M). Keempat khalifah ini dalam
sejarah dikenal dengan sebutan al-Khulafau al-Rasyidin dan periodenya
disebut dengan zaman sahabat besar.[18]
Sesudah
Ali bin Abi Thalib wafat, maka berakhirlah era sahabat besar dan
menyusul era sahabat kecil. Dalam masa itu muncullah tabi’in besar yang
bekerja sama dalam perkembangan pengetahuan dengan para sahabat Nabi
yang masih hidup pada masa itu. Di antara sahabat Nabi yang masih hidup
setelah periode al-Khulafa al-Rasyidin dan yang cukup besar peranannya
dalam periwayatan Hadis diantaranya ‘Aisyah (wafat 57 H/677 M), Abu
Hurairah (wafat 58 H/678 M), Abdullah bin Abbas (wafat 68 H/687 M),
Abdullah bin Umar bin Khaththab (wafat 73 H/692 M), dan Jabir bin
Abdullah (wafat 78 H/697 M).[19]
Menurut
Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi (w.1347 M), Abu Bakar merupakan sahabat
Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya dalam periwayatan
Hadis.[20] Pernyataan al-Dzahabi ini didasarkan atas pengalaman Abu Bakar ketika
menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika, ada seorang
nenek menghadap kepada khalifah Abu Bakar, meminta hak waris dari harta
ynag ditinggalkan oleh cucunya. Abu Bakar menjawab bahwa dia tidak
melihat petunjuk al-Qur’an dan praktek Nabi yang memberikan bagian harta
waris kepada nenek. Abu Bakar lalu bertanyaa kepada para sahabat.
Al-Mughirah bin Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa Nabi telah
memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seperenam (1/6) bagian.
Al-Mughirah mengaku hadir ketika Nabi menetapkan demikian itu. Mendengar
pernyataan tersebut, Abu Bakar meminta agar al-Mughirah menghadirkan
seorang saksi. Lalu Muhammad bin Maslamah memberikan kesaksian atas
kebenaran pernyataan al-Mughirah itu. Akhirnya Abu Bakar menetapkan
kewarisan nenek dengan memberikan seperenam bagian berdasarkan Hadis
Nabi yang disampaikan al-Mughirah tersebut.[21]
Kasus
dia atas memberikan petunjuk, bahwa Abu Bakar ternyata tidak bersegera
menerima riwayat Hadis, sebelum meneliti periwayatannya. Dalam melakukan
penelitian, Abu Bakar meminta kepada periwayat Hadis untuk menghadirkan
saksi.
Bukti lain tentang sikap ketat Abu Bakar dalam
periwayatan Hadis terlihat pada tindakannya yang telah membakar
catatan-catatan Hadis miliknya. Putri Abu Bakar, ‘Aisyah, menyatakan
bahwa Abu Bakar telah membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus
Hadis. Menjawab pertanyaan ‘Aisyah, Abu Bakar menjelaskan bahwa dia
membakar catatannya itu karena dia khawatir berbuat salah dalam
periwayatan Hadis.[22] Hal ini membuktikan sikap sangat hati-hati Abu Bakar dalam periwayatan Hadis.
Sebagaimana
Abu Bakar, khalifah selanjutnya, Umar bin al-Khattab juga terkenal
sangat hati-hati dalam periwayatan Hadis. Hal ini terlihat misalnya,
ketika Umar mendengar Hadis yang disampaikan oleh Ubay bin Ka’ab, Umar
baru bersedia menerima Hadis dari Ubay, setelah para sahabat yang lain,
seperti Abu Dzar menyatakan telah mendengar pula Hadis Nabi tentang apa
yang dikemukakan oleh Ubay tersebut. Akhirnya Umar berkata kepada Ubay:
”Demi Allah, sungguh saya tidak menuduhmu telah berdusta. Saya bertindak
demikian karena saya ingin berhati-hati dalam periwayatan Hadis Nabi”.[23]
Selain
itu, Umar juga menekankan kepada para sahabatnya agar tidak
meriwayatkan Hadis di masyarakat. Alasannya, agar masyarakat tidak
terganggu konsentrasinya untuk membaca dan mendalami al-Qur’an.[24]
Abu Hurairah yang dikemudian hari dikenal banyak menyampaikan riwayat
Hadis, pada zaman Umar terpaksa menahan diri untuk tidak banyak
meriwayatkan Hadis. Abu Hurairah pernah menyatakan, sekiranya dia banyak
meriwayatkan Hadis pada zaman Umar, niscaya dia akan dicambuk oleh
Umar.[25]
Gerakan
pengetatan periwayatan Hadis, bahkan dapat dikatakan penghilangan
sebagian Hadis oleh dua khalifah itu telah memberikan pengaruh baik
positif maupun negatif dalam perkembangan Hadis di kemudian hari.
Implikasi positif dari gerakan itu adalah otentisitas Hadis lebih
terjaga sekaligus membuka peluang interpretasi yang lebar bagi umat
Islam dalam mengapresiasi keberagamaannya karena tidak terkungkung oleh
normativitas Hadis. Di sini kreatifitas umat mendapat lahan yang cukup
subur sehingga dapat berkembang dengan baik.
Tetapi
implikasi negatif dari gerakan pengetatan Hadis itu, oleh Rasm Ja’farian
telah mengakibatkan hal-hal yang merugikan umat Islam, yaitu:
Hilangnya
sejumlah besar Hadis. Urwah bin Zubair pernah berkata: ”Dulu aku
menulis sejumlah Hadis, kemudian aku hapuskan semuanya. Sekarang aku
berfikir, alangkah baiknya kalau aku tidak menghancurkan Hadis-Hadis
itu. Aku bersedia memberikan seluruh anakku dan hartaku untuk
memperolehnya kembali”.
Terbukanya peluang pemalsuan Hadis. Abu
al-Abbas al-Hanbali menulis, “Salah satu penyebab timbulnya perbedaan
pendapat di antara para ulama adalah Hadis-Hadis dan teks-teks yang
kontradiktif. Sebagian orang menuding Umarlah yang bertanggung jawab
atas kejadian itu, karena para sahabat meminta ijin untuk menulis Hadis
tetapi umar mencegahnya. Seandainya para sahabat menulis apa-apa yang
pernah didengarnya dari Rasulullah s.a.w., sunnah akan tercatat tidak
lebih dari satu mata rantai saja antara Nabi dan umat sesudahnya”.
Periwayatan
dengan makna. Karena orang hanya menerima Hadis secara lisan, ketika
menyampaikan Hadis itu, mereka hanya menyampaikan maknanya. Dalam
rangkaian periwayatan, redaksinya dapat berubah-ubah. Karena makna
adalah masalah persepsi, masalah penafsiran, maka redaksi Hadis
berkembang sesuai dengan penafsiran orang yang meriwayatkannya.
Terjadinya perbedaan pendapat di kalangan umat. Bersamaan dengan perbedaan ini, lahirlah akibat yang ke-Ra’yu
menjadi menonjol dalam proses interpretasi keagamaan. Karena sejumlah
Hadis hilang, orang-orang mencari petunjuk dari ra’yu-nya. Dalam pasar
ra’yu yang bebas (dalam kenyatannya, pasar gagasan umumnya tidak bebas)
sebagian ra’yu menjadi dominan. Ra’yu dominan inilah, menurut Fazlur
Rahman, kemudian menjadi sunnah. Sebuah ra’yu menjadi dominan boleh jadi
karena proses kreatif dan adanya demokrasi, boleh jadi juga karena ada
intervensi dari penguasa.[26]
Dalam
semua kejadian itu, dominasi ra’yu sangat ditopang oleh hilangnya
catatan-catatan Hadis. Untuk memperparah keadaan, tidak ada rujukan
tertulis menyebabkan banyak orang secara bebas membuat Hadis untuk
kepentingan politis, ekonomis dan sosiologisnya. Kemudian ditambah
panjangnya rangkaian periwayatan Hadis telah memungkinkan orang-orang
menambahkan kesimpulan dan pendapatnya pada Hadis-Hadis. Tidak
mengherankan bila kemudian Fazlur Rahman[27]
sampai pada kesimpulan, Hadis adalah produk pemikiran kaum muslim awal
untuk memformulasikan sunnah. Sunnah pada gilirannya kelihatan sebagai
produk para ahli hukum Islam, yang kemudian dinisbatkan kepada Nabi.
Secara kronologis dapat dijelaskan sebagai berikut:
Mula-mula
muncul Hadis – kemudian ada upaya dua khalifah untuk menghambat
kemunculannya, terutama, dalam bentuk tertulis. Timbullah sunnah, yang
lebih merujuk kepada tema perilaku yang hidup di tengah-tengah
masyarakat, daripada teks. Ketika Hadis-Hadis dihidupkan kembali,
melalui kegiatan pengumpul Hadis, kesulitan menguji otentisitas dan
validitas Hadis menjadi sangat besar.
Bagaimana dengan
kegiatan khalifah sesudah Umar bin al-Khattab, yakni Utsman bin Affan
dan Ali bin Abi Thalib? Dari beberapa sumber yang dapat menjelaskan
tentang hal itu, dapat diterangkan bahwa dua khalifah terakhir-
sebagaimana dua khalifah sebelumnya melakukan pula gerakan pengetatan
Hadis. Walaupun tidak seketat apa yang telah dilakukan oleh Abu Bakar
maupun Umar. Sikap sedikit longgar oleh dua khalifah terakhir ini
mungkin disebabkan oleh pribadi dua khalifah itu yang tidak sekeras Umar
bin al-Khattab, dan juga karena wilayah kekuasaan Islam semakin luas,
sehingga menyulitkan adanya kontrol yang ketat terhadap kegiatan
periwayatan Hadis. Sehingga pengaruhnya bagi perkembangan Hadis; banyak
(baca: lebih banyak dibandingkan pada era dua khalifah awal) aktivitas
periwayatan Hadis pada era itu.
Secara pribadi Utsman jauh lebih sedikit meriwayatkan Hadis,[28] dibanding dengan empat khalifah yang lain. Sedangkan Ali[29] dalam meriwayatkan Hadis, disamping lisan juga tertulis.[30] Sebagaimana telah diketahui, salah satu sahabat yang rajin menulis
Hadis diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib, yang tulisan Hadisnya
terkumpul dalam shahifah Ali.
Beberapa sahabat[31]
Nabi selain Khulafa’ al-Rasyidin telah menunjukkan pula sikap hati-hati
mereka baik dalam menerima atau meriwayatkan Hadis. Hal ini dapat
dilihat, misalnya, pada pernyataan-pernyataan mereka sebagai berikut:
Anas
bin Malik pernah berkata, sekiranya dia tidak takut keliru niscaya
semua apa yang telah didengarnya dari Nabi dikemukakan pula kepada orang
lain. Pernyataan Anas ini memberi petunjuk bahwa tidak seluruh Hadis
yang pernah didengarnya dari Nabi disampaikannya kepada sahabat lain
atau kepada tabi’in, dia berlaku hati-hati dalam meriwayatkan Hadis.[32]
Saad
bin Abi Waqqash (w. 55 H/675 M), pernah ditemani oleh al-Sa’ib bin
Yazid dalam perjalanan dari Makkah ke Madinah pergi-pulang. Selama dalam
perjalanan, Sa’ad tidak menyampaikan sebuah Hadis pun kepada al-Sa’ib.
Apa yang dilakukan Sa’ad itu tidak lepas dari sikap hati-hatinya dalam
periwayatan Hadis. Sikap hati-hati para sahabat Nabi tersebut bukan
hanya ketika menyampaikan Hadis saja, melainkan juga ketika menerimanya.
Tidak jarang seorang sahabat terpaksa menempuh perjalanan yang sangat
jauh hanya untuk mendapatkan atau mencocokkan sebuah Hadis saja.
Pada
periode sahabat ini telah muncul tradisi kritik terhadap Hadis yang
dibawa oleh sesama sahabat. Tradisi kritik Hadis ini untuk menjaga
otentisitas Hadis dan agar Hadis tidak mudah untuk dipalsukan, baik
secara sengaja maupun tidak. Misalnya, sikap Aisyah ra. ketika mendengar
Hadis yang menyatakan bahwa orang mati itu diadzab Tuhan karena
ditangisi keluarganya. Bunyi Hadis itu: ”… sesungguhnya orang mati itu
diadzab karena tangis keluarganya …”. ‘Aisyah menolak Hadis itu dengan
nada tanya: ”Apakah kalian lupa firman Allah: … seseorang tidak akan
menanggung/memikul dosa orang lain…”[33]